Revolusi Pendidikan Indonesia ala Nadiem?

PERNAH tahu istilah pseudosains? Ilmu semu, tidak berbasis ilmiah tapi klaimnya menggunakan metode ilmiah. Misalnya, gaya tulisan yang mempengaruhi nasib seseorang. Contoh lain, variabel faktor keturunan, berdarah biru atau tidak yang pantas menjadi pemimpin.

Apakah Nadiem terpilih sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan karena kaitan faktor kehebatannya membangun startup hingga bisa menjadi sebuah perusahaan decacorn alias valuasinya Rp142 triliun. Unduhannya lebih dari 125 juta manusia, 300.000 merchant, dan beroperasi di 207 kota. Bahkan telah ekspansi ke-5 negara berbeda, aplikasi tersebut menjadi nomor dua terbesar Asia.

Apakah terlalu berlebihan jika kita menyebutnya dengan pseudosains?

Entahlah. Pertanyaannya, jika memang tidak dikaitkan dengan pseudosains, karena Nadiem sendiri bukan seorang dengan latar belakang teknokrat bidang pendidikan bahkan tidak pernah berpolitik praktis, padahal jabatannya sangat sulit lepas dari birokrasi pendidikan dan haluan politik.

Bagaimana kita sebenarnya dapat menilai kompetensi seorang Nadiem?

Selanjutnya, bagaimana sebenarnya presiden bisa yakin akan seorang Nadiem untuk memegang tampuk pimpinan menyangkut 45,3 juta jiwa plus 7 juta jiwa mahasiswa (2018). Yang bikin mumet, setiap tahun ada sekitar 2 juta jiwa anak setara Sekolah Menengah Atas justru tidak melanjutkan kuliah. Makin runyam lagi, pengangguran terdidik, khususnya jebolan Diploma dan

Sarjana itu, menghuni pengangguran terbesar Indonesia. Mendekati angka 900 ribu jiwa! Celakanya lagi, Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada 2030. Populasi usia produktif bangsa kita akan mencapai 100 juta jiwa. Usia muda berada pada rentang 15-34 tahun. Usia yang di stempel seharusnya menjadi energi daya ungkit dalam menggenjot pembangunan, hanya jika memiliki daya saing. Indeks daya saing Indonesia pada tahun 2018 berdasarkan paparan Global Competitiveness Indeks 4.0, berada pada rangking 45 dari 140 negara.

Ngeri, bukan? Syarat meningkatkannya lagi-lagi adalah pendidikan. Nadiem mungkin makin pusing atau malah bisa jadi semakin tertantang menyelesaikan permasalahan dunia pendidikan, yang katanya dalam sebuah wawancara, 20 hingga 30 tahun, praktis tidak berubah banyak. Nadiem diberikan waktu hanya 5 tahun. Ingat, hanya 5 tahun saja, kawan-kawan. Dan, jangan lupa, para suksesor sebelumnya adalah profesor dan teknokrat sejati. Tapi, toh tidak optimal juga.

Mari kita coba gunakan sedikit imajinasi, Nadiem yang tergolong generasi milenial (35 tahun), yang hampir separuh hidupnya rajin memamfaatkan inovasi teknologi, bertemu dan berdiskusi bersama sekelas rektor bergelar profesor plus doktor untuk menerapkan kebijakan. Belum termasuk, kepala sekolah yang juga mungkin seumuran dengan orang tua kita.

Berdasarkan pandangan saya, ada dua kesulitan yang akan dialami oleh seorang tokoh startup muda, yang juga menyandang nama keluarganya, Makarim, yang terkenal sebagai ahli hukum. Pertama tentu saja perlu ada chemistry antara Nadiem dan rektor jika ingin mentrasformasi pendidikan menjadi lebih progresif dengan memamfaatkan inovasi teknologi. Kedua, para rektor yang bergelar profesor tentu berada pada era yang berbeda. Baik latar belakang pendidikan dan profesi, plus budaya lama yang sangat berbeda dengan kultur kehidupan Nadiem.

Padahal teknologi sebenarnya bukanlah masalah perangkat, fitur, akses, dan penghematan. Teknologi lebih mengenai membentuk sebuah kultur baru dalam ekosistem yang ingin dikembangkan. Berkolaborasi menciptakan efisiensi bagi user (kaum terdidik dan pendidik). Celakanya, kultur bukan perihal gampang untuk diubah, diganti, otak-atik, apalagi diterapkan. Orang-orang “tua” pada birokrasi terlanjur sudah menjalankan aturan-aturan masa lalu. Dan, saya serta Anda sekalian sangat susah lepas dari kebiasaan. Apapun jenis kebiasaan itu.

Misal, yang paling simpel, saya ambil contoh: coba saja Anda menulis dengan tangan kiri jika Anda terbiasa menggunakan tangan kanan. Apa yang terjadi? Bukan saja tulisan Anda jelek, tapi bisa jadi apa yang Anda tuliskan tidak dimengerti, bahkan mengganggu proses berpikir.

Parahnya lagi, pikiran Anda bisa memberontak tidak karuan. Dalam imajinasi saya, seorang Nadiem yang masih berusia 35 tahun nantinya, ketika hendak membuat kebijakan pendidikan, yang dipimpin seorang profesor dan pejabat–pejabat senior, dan telah berkecimpung bahkan mungkin “bangkotan” dalam dunia pendidikan, diminta beradaptasi dengan inovasi teknologi agar birokrasi lebih efisien dan mengubah pedagogi?

Bisa saja, Nadiem yang pernah bekerja perusahaan konsultan ternama Mckinsey yang kerjaannya sangat ilmiah, menggunakan statistik, menyodorkan bermacam-macam riset agar argumennya sahih. Namun, saya membayangkan, para “tetua-tetua” ini akan merasa aneh, canggung, dan mengecilkan peran seorang Nadiem yang tidak pernah sekalipun mengenyam jabatan birokrat dunia pendidikan.

Kalau peribahasa minang mengatakan “jan diajaan ikan baranang” (jangan diajarkan ikan berenang). Maknanya, gue lebih tahu daripada loe. Nadiem, akan dirasa asing bagi yang tidak bisa lepas dari image lebih tuanya. Dia juga akan dianggap terlalu dangkal keilmuan dan pengalamannya sekalipun jebolan Harvard. Inilah titik awal permasalahan, dan hal tersebut membutuhkan waktu yang panjang, hanya untuk mengubah mindset berpikir tersebut. Apalagi menyangkut kultur.

Padahal, hanya diberi waktu lima tahun saja, jika memang transformasi pendidikan serius di laksanakan. Belum lagi ketika program kebijakan pendidikan hendak di implementasikan, tim struktural sudah angin-anginan dalam menjalankan, hanya sekadar menjalankannya karena Nadim “CEO” pendidikan mereka. Sekedar sent tanpa delivered. Alhasil, para anak bangsa yang akan menimba ilmu kembali “menikmati” kebijakan setengah matang atau hanya berganti istilah, label. Pada periode sebelumnya, sering terbukti terjadi. Dari sekadar istilah kurikulum yang berubah tapi isi sama saja, sampai yang heboh baru-baru ini, pendapat Pak Muhadjir (menteri pendidikan sebelumya) mengatakan, gaji guru honorer yang sedikit dibalas dengan imbalan surga.

Menurut saya, Nadiem harus terlebih dahulu mengubah mindset kultur jika ingin menerapkan revolusi pendidikan apalagi mengaitkannya dengan teknologi. Teknologi kan hanya sebagai pemicu. Sebagai alat bantu, yang melaksanakan tetaplah manusia. Revolusi pendidikan berbasis teknologi bukan perihal hanya menerapkan inovasi teknologi, tapi hakikatnya adalah pembentukan kultur, ekosistem baru, dan terus menciptakan inovasi aplikatif bagi user dan stoke holder.

Tidak mudah, tapi masuk akal bagi transformasi pendidikan Indonesia. Semoga dengan kerja keras dan kehebatan membangun startup decacorn, Nadiem berhasil melaksanakan revolusi dunia pendidikan. Selamat mengubah kultur, brother Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem. Semoga impian membangun generasi muda menjadi lebih berkompetensi dan berkarakter dapat terwujud. Amat Victoria Curam. Kemenangan membutuhkan perencanaan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here